Minggu, 08 April 2012

Candaan Asal atau Asal Bercanda?


Stand-Up Comedy

”Ustaz sekarang trennya nggak hanya Timur Tengah. Saya perhatikan ustaz pun harus 'ngondek'. Asal kata dari kondektur. Kondektur kan melambai-lambai. Jamaah oh Jamaah... piss Pak,” ujar Soleh Solehun sambil melambaikan tangan kanan menirukan gaya seorang ustaz di televisi. Penonton di studio pun tertawa.

Itu salah satu aksi Soleh Solehun dengan set panggung sebuah kafe plus cangkir kopi ”berbalut” iklan di atas meja, dalam tayangan perdana program hiburan Stand-Up Comedy Show, Metro Tv, Kamis (15/9), pukul 22.30 WIB. Acara berdurasi 30 menit ini menghadirkan tiga comic (orang yang membawakan Stan-up Comedy): Soleh Solehun, Steny Agustaf, dan Asmara Leticia alias Miund. 

Melawak dengan cara bicara sendiri di depan orang banyak, dengan struktur rapi, lebih fast-paced, dan lebih singkat, akhir-akhir ini memang ramai dibicarakan. Tidak hanya di forum maya tapi juga dalam kehidupan nyata. Tepatnya, setelah kemunculan video sejumlah stand-up komedian lokal yang mengaku belum profesional di acara live show #StandUpNite di Comedy Cafe Kemang, diunggah ke situs Youtube oleh StandUpComedyIndo.

Acara yang sukses meraup pengunjung hingga di luar kafe itu diprakarsai Ernest Prakasa,  Adriandhy,  Isman HS, Panji Pragiwaksono, dan Raditya Dika. Mereka mendapat sambutan luar biasa hingga kemudian dua stasiun televisi melirik konsep acara serupa untuk program hiburan.

Memang dalam tayangan perdana di Metro Tv, aksi tiga comic tersebut masih terlihat canggung. Dengan lawakan standar dan ”kurang berisi”, jauh dari  filosofi genre komedi yang selama ini mematok pakem komedi one-man show dengan penceritaan ulang dari fenomena atau kejadian serta isu sosial dalam masyarakat dengan bumbu komedi. Istilahnya, komedi cerdas yang mengolah tawa untuk belajar menjadi ”dewasa”.

Walhasil, wajar saja jika  komedi yang isinya penuh kritikan ini hanya bisa dinikmati orang berpikiran terbuka dan luas, tidak mudah tersinggung dan menikmati setiap lelucon tanpa emosi.
”Tetap ada batasan dan etika meski comic diberi kebebasan mengolah materi yang sudah disiapkan. Ada sensor karena ditayangkan di televisi,” jelas Agus Mulyadi, ekskutif produser Stand-Up Comedy Show Metro Tv. 

Ciri Khas
Tiap comic biasanya punya ciri khas dalam menebar pesona lawakan kepada penonton yang tersihir lewat isi lawakan. Masing-masing bisa saja bercerita tentang observasi atau pengalaman pribadi sang komedian.
Itu agak berbeda dengan di Amerika Serikat. Di negara itu, genre komedi seperti itu begitu populer. Isi lelucon Stand-up Comedy mereka sangat ”bebas”. Atas nama menghargai kejujuran dan opini, semua bebas dan berhak bicara tentang apa saja. Kritikan yang dibalut lelucon lebih blak-blakan, bahkan berani menyerempet hal-hal yang berbau rasis, mengkritik pemerintah seperti presiden dan menteri-menterinya, film, atau penyanyi. 

Seperti Richard Pryor yang sering mengumpat dan Dave Chappelle berbicara rasis, atau Mitch Fatel lebih ke arah seks. Namun, Jerry Seinfeld nampak lebih santun dan ”bersih” dari sumpah serapah. Margareth Cho bicara tentang politik dan perempuan, Ellen DeGeneres tentang realitas  modern. Beda lagi dengan Robin Williams yang lebih suka melakukan improvisasi tanpa menghapal materi.

Ya, tiap negara jelas berbeda cita rasa karena kebudayaan dan kebiasaan yang beda pula. Dan genre komedi itu belum tentu disukai setiap negara. Buktinya, meski kemunculannya kali pertamamya di Inggris pada abad ke-18, Stand-up Comedy justru lebih populer di Amerika Serikat. Daratan Eropa, khususnya Inggris lebih menyukai sitkom alias komedi situasi, atau Jerman yang memilih jenis silent comedy.
Di Indonesia, Stand-up Comedy tenggelam karena dianggap sebagai lawakan yang memaparkan analisis situasi rumit. Lawakan slapstick dan physical comedy nyatanya lebih mudah membuat penonton tertawa. Misalnya, Opera Van Java dengan ”dalang" Eko Patrio. 

Terlepas dari semua itu, gebrakan dari komedian muda dengan menawarkan Stand-up Comedy patut diacungi jempol. Setidaknya, kehadirannya menjadi alternatif tontonan di antara komedi yang lain. Apalagi tujuannya tidak hanya mengajak tawa tapi juga mengolah fenomena agar masyarakat belajar kritis.
Itu misalnya bisa kita lihat dalam penampilan live Raditya Dika pada #StandUpNite di Comedy Cafe Kemang. Dengan bersemangat bak juru kampanye sebuah partai, dia berceloteh gerah melihat fenomena Boys Band yang digandrungi ABG ini. 

”Gue paling nggak ngerti sama Smash. Kali pertama lihat Smash, ada tujuh orang laki-laki. Semilaki-laki. Bernyanyi 'kenapa hatiku cenat-cenut'... Jangan-jangan hepatitis. Dan yang paling gue sebelin ya baju mereka itu ada yang terbuka di dadanya. Lu mau nyanyi atau mau nyusuin?”

Nyinyir sekali, tapi penonton terpingkal. Lawakannya berlanjut. ”Di antara band-band di Indonesia gue bersyukur Andika ditangkap. Karena pas gue lihat sidangnya, dia akhirnya potong rambut. Selama ini kalau lihat Andhika rambutnya ke mana-mana kayak helm SNI. Kalau ngajak ngobrol ngetok dulu, Andhika ada?”
Kenyinyiran itu agaknya begitu jauh dari sebuah lawakan cerdas. Tapi, semoga saja para comic bisa mengendalikan diri sehingga tidak berakhir dengan menggalaukan masyarakat atau grup band yang dinyinyirinya. Kalau tidak, wah bukannya Stand-up Comedy Show malah Stand-Up Galau Show. Jadi, para comic itu tak bercanda secara asal atau asal bercanda saja. Candaan cerdas pasti lebih jos. 

 
Mulai Bangkit

Hollywood punya banyak komedian bagus. Sebut saja Woody Allen, Bill Cosby, Steve Martin, Jerry Seinfeld, Martin Lawrence, dan Robin Williams. Mereka memulai karier sebagai stand-up comedian.  Genre komedia itu memang sangat populer di AS.

Tak hanya di negeri itu, Malaysia, Jepang, dan India juga punya stand-up comedian senior dan terkenal. Di Indonesia, meski baru ”memulai”, sejumlah nama tidak bisa lepas dari peran Youtube.
Dulu, kita punya Warkop (Dono, Kasino, Indro). Sebelum terjun ke dunia film, ketiganya mengawali karier di radio dan pangung komedi dengan menyampaikan lelucon secara monolog. Memang bukan stand-up comedy, tapi mereka melakukan revolusi lawakan yang mengandalkan ucapan tanpa gestur dan slapstick. Juga Taufik Savalas, meski dikenal sebagai joke telling, leluconnya yang dalam one-man show bisa menjadi catatan penting. 

Kemudian, ada juga pemilik Comedy Cafe di Kemang yang akrab disebut  Bang Ramon. Sejak tahun 1997, laki-laki itu mempertahankan ”budaya” stand-up comedy di kafenya meski belum direspons masyarakat. Dia bahkan menyediakan tempat untuk openmic (ruang latihan bagi orang yang mau tampil-Red) bagi comic yang ingin ber-stand-up comedy di kafe miliknya.

Delapan tahun kemudian, Iwel Wel mempunyai kesempatan melakukan stand-up comedy di sejumlah program di televisi swasta. Salah satunya dalam acara Bincang Bintang di RCTI. Laki-laki yang sudah menekuni stand-up off-air sejak 1998 menampilkan stand-up comedy sebagai opsi pilihan komedi. Walhasil, ia adalah orang pertama yang membawa stand-up comedy yang bersifat penetratif kepada kultur pop Indonesia.

Sejumlah orang yang bekerja di balik layarpun membawa pengaruh hingga jenis komedi itu dikenal masyarakat. Sebut saja, Indra Yudhistira, bekas Kadiv Produksi RCTI yang merealisasikan stand-up comedy di Kompas Tv melalui pencarian bakat comic. Proyek ini merupakan hasil reinkarnasi Salam Canda dengan Kang Ebet Kadarusman sebagai host, program acara yang meniru late night talkshow ala Jay Leno, David Letterman, dan Conan O'Brien. 

Begitu juga kontribusi Agus Mulyadi, yang mengemas genre komedi ini menjadi sebuah pertunjukan lewat Stand-Up Comedy Show di Metro Tv. Konsepnya, ”Def Comedy Jam” yang memunculkan beberapa comic tampil bergantian selama beberapa menit.

Satu lagi yang namanya tidak asing lagi di dunia komedi pop adalah Raditya Dika. Ia menggunakan teknologi dunia maya seperti Youtube atau Twitter untuk menyebarkan stand-up comedy secara luas. Bukan hanya video Youtube miliknya, tapi juga comic lainnya yang ada di http://youtube.com/standupcomedyindo. Noni Arnee 



http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/25/160390/Mulai-Bangkit

Sabtu, 07 April 2012

Pisau Twitter di Tangan Artis


Nama mantan news anchor cantik, Chantal Della Concetta, mencuat dan menebar beberapa sensasi. Belum lagi pose ”hot”-nya di sebuah majalah dewasa berhenti dibicarakan orang, ”kicauan”-nya di dunia maya menuai kritikan pedas.

Tiga huruf  re-tweet-nya (A*U) mengomentari berita mengenai Syahrini di situs berita hiburan yang tersebar di Twitter diasumsikan sebagai  kata-kata kasar. Para tweps (pengguna Twitter) bereaksi. ”Maaf Mbak Chantal, Anda jangan seenaknya menyandingkan kata A*U dengan ucapan berkalimat Allah. Tunjukkan Anda orang yang beretika,” tulis seorang follower.

Rupanya, sebagai publik figur yang jelas-jelas memanfaatkan jejaring sosial untuk mendekatkan diri dengan fans, Chantal lupa akan kekuatan dan pengaruh Twitter. ”Kicauan” yang entah disengaja atau tidak itu berujung dengan tuntutan agar si ”pengicau” meminta maaf. Dan 30 menit berselang, permintaan maaf itu muncul. ”A*U adalah singkatan (Alhamdulillah Sesuatu). Saya bahkan tidak mengerti bahasa Jawanya. Maaf kalau menyinggung,” tulis pemilik 67 ribu lebih follower tersebut. 

Ya, para selebritis terbilang cukup eksis di Twitter. Dengan 140 karakter dan sekali tweet, ”kicauan” mereka mengenai apa pun bisa dibaca ribuan bahkan jutaan orang. Tak heran, mereka memanfaatkan situs microblogging itu untuk ngeksis dengan penggemar atau sekadar berbagi informasi sesama artis. Umumnya, selama ini artis menyerbu Twitter karena mereka ingin mendapatkan dukungan penggemar. 

”Banyak artis menyadari bahwa keakraban bisa berkembang menjadi keniscayaan baru. Artis yang dulunya adalah orang yang sulit dijangkau dan tak bisa diajak berkomunikasi, menjadi dekat dengan Twitter,” jelas analisis Robert Thompson, profesor bidang televisi dan budaya populer di Universitas Syracuse, New York.
Jadi, bukan hal baru jika kemudian artis juga dihujat habis-habisan di Twitter. Kedekatan artis dengan penggemarnya bisa menjadi bumerang dan update status bisa ”membunuh” dirinya ketika  yang disampaikan bernada negatif, menyudutkan orang lain, atau bertentangan norma sosial dan hukum. 

Ingat  bagaimana Luna Maya melimpahkan kekesalannya pada wartawan di jejaring sosial ini hingga harus berurusan ke meja hijau. Sebaliknya, dia sendiri panen dukungan saat curhat kasus video porno membelitnya. Begitu juga dengan penyanyi muda Bondan Prakoso. Kicauan dini harinya berakibat fatal. Ia dilaporkan ke Polresta Denpasar atas tuduhan dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik pemilik Kafe Akasaka. Dia menulis, ”Security=Secure=membuat nyaman= membuat aman, Security Bali Aka Saka=Tidak Sopan=Berlebihan=Tidak menghargai tamu!” 

Selebritis dengan ratusan ribu pengikut juga menjadi sasaran empuk kicauan yang sensitif, nyeleneh, hoax hingga korban ”tweet” kematian selebritis. Seperti kabar meninggalnya pesinetron Cut Tari dan penyanyi pop Agnes Monica yang heboh tersiar di Twitter ketika ia menjalani perawatan karena cedera punggung.
”Baru kelar fisioterapi. Sakit sedikit. But pain doesn't kill me. I'll be stronger than ever. Watch me!” Begitu klarifikasi Agnes lewat akun Twitter-nya.

***
TAK hanya selebritis Indonesia yang geger oleh kicauan ”asal” tersebut. ”Tweet” kematian vokalis Rolling Stones Mick Jagger (67) bahkan menjadi trending topic lewat #RIP MICK JAGGER.

Beragam komentar pun terlontar. Marah, serius hingga komentar lucu bermunculan. Seperti akun @Killer16Bars menulis,”RIP Mick Jagger trending is not even remotely funny.” Atau,  @Its_Death menulis, ”RIP Mick Jagger? No, no, no. He's not dead. He just looks like he is.” 

Banyak yang kena getah ”perang kematian”. Sejumlah selebritis papan atas sebelumnya juga ”dikerjain” tukang iseng di dunia maya, seperti Justin Beiber, Owen Wilson, Johnny Depp, Russel Crowe, Stephenie Meyer, Eddie Murphy, Adam Sandler, Bill Cosby, dan Charlie Sheen.

Menjadi korban Twitter juga pernah dialami pasangan selebritis Selena Gomez dan kekasihnya Justin Bieber. Dirinya menjadi trending topic unik para tweps Indonesia dengan kata ”Tabok Selena” atau ”Dinikahin Justin”. 

Tapi Robert Thompson menilai, ada kecenderungan pesohor mulai dihinggapi kelelahan ”berkicau”. Mereka menyadari ”kicauan”-nya justru menganggu privasi. Sebut saja penyanyi Miley Cyrus, bintang muda Disney Demi Lovato, dan penyanyi blues John Mayer yang menjatuhkan ”talak satu” kepada Twitter dan beralih ke situs Tumblr. 

”Dan inilah waktunya saya untuk menghilang sementara,” pesan terakhir Mayer, pemilik 3,7 juta follower ini menutup akunnya. Penyanyi country LeAnn Rimmes melakukan hal yang sama. Dia menulis, ”Selamat tinggal, Twitter” di akunnya karena lelah dihujat. 

Twitter memang bisa menjadi mesin pembunuh. Namun, jejaring sosial ini juga menjadi cara semakin terkenal. Apa pun bisa terjadi dan mereka sendiri yang pegang kendali.
Syahrini sudah membuktikan. ”Kicauan”-nya "Alhamdulillah yah" untuk menangkis komentar pedas publik lewat Twitter, justru menjadikan penyanyi asal Bogor ini semakin populer. Tidak semata-mata menjadi trendsetter, kontrak kerja dengan provider telepon seluler melayang ke arahnya. ”Awalnya, di Twitter orang sering menuliskan, 'Syahrini Move OnĂ–' dan saya selalu bilang 'Alhamdulillah yah'. Lama-lama jadi trending topic,” ungkapnya.

Tapi, para selebritis juga patut berhati-hati karena Twitter bisa jadi candu yang kicauan tidak lebih dari ”teriakan ke kegelapan dan berharap seseorang mendengarkan”. Setidaknya, itu yang dikatakan SuperNews! Jadi, berpikirlah dua kali sebelum ”berkicau”! Bagi seorang artis, Twitter itu bak pisau, bisa meringankan urusan masak-memasak, tapi bisa juga membunuh dirinya.


Demi Misi Tertentu

Popularitas dan kedigdayaan Twitter menjadikan jejaring sosial berlogo burung biru ini dipercaya sebagian besar pesohor dan publik figur untuk berinteraksi. Situs microblogging ”diciptakan” untuk berinteraksi dengan follower tak terbatas. Bebas nyaris tanpa editing. Mereka sengaja nge-tweet demi mendapatkan popularitas, uang, bahkan misi kemanusiaan. 

Aktor Charlie Sheen termasuk ”Twitterer” ngetop hingga namanya tercatat dalam Guiness World Record sebagai user pencetak satu juta follower dengan waktu tercepat: hanya 25 jam dan 17 menit.
Ia juga mengeluarkan berbagai jurus ”kicauan” untuk meraup dolar dari situs microblogging ini lewat penandatanganan kontrak dengan perusahaan yang menangani promosi produk melalui Twitter selebritis. Uang pun mengalir tiap kali Sheen nge-tweet produk atau merek tertentu.

Presiden Amerika Serikat, Barack Obama juga ”berkicau” merdu dengan 8,69 juta lebih follower-nya untuk kampanye pemilihan presiden di 2012. Pemilik akun ketiga dengan jumlah follower terbanyak di dunia setelah Lady Gaga dan Justin Bieber ini aktif meng-update Twitter-nya @BarackObama yang menjadi kanal utama publikasi semua aktivitas Obama setiap hari agar bisa terkoneksi dengan jutaan pendukung.
Nama-nama pesohor lain seperti Ashton Kutcher, suami Demi Moore, juga termasuk salah satu pelopor akun selebritis dan pernah mengalahkan CNN dalam kompetisi meraih satu juta follower. Itu diikuti Oprah Winfrey, Britney Spears, dan lain-lain.

Katy Perry dan Demi Moore juga dikenal paling cepat bereaksi membalas tanggapan fans dan sangat aktif berkomunikasi lewat Twitter. Moore misalnya, dia tak segan-segan memberikan ”pesan moral” pada publik dengan cara memamerkan foto topless dirinya untuk dinikmati follower-nya. 

Tahun lalu, selebritis papan atas dunia sengaja nge-tweet untuk misi kemanusiaan memperingati Hari AIDS sedunia, melalui kampanye bertajuk ”Digital Life Sacrifice”. Penyanyi Alicia Keys, Lady Gaga, Kim Kardashian, Justin Timberlake, Usher, dan sejumlah pesohor lainnya ramai-ramai ”mematisurikan” akun Twitter miliknya demi mengumpulkan uang satu juta dolar AS untuk membantu organisasi Keep a Child Alive.

Tidak hanya itu, para pesohor Bollywood memilih Twitter untuk update status dan memberikan ucapan di sejumlah perayaaan hari besar keagamaan.
Selebritis Indonesia juga menggunakan Twitter dengan jumlah follower ribuan untuk hal-hal yang lucu dan ”gila”. Sebut saja si Kambing Jantan Raditya Dika, Christian Sugiono, Fitri Tropika, dan Indra Herlambang. Atau Agnes Monica yang rajin berbagi dengan  penggemarnya, lewat kicauan motivasi yang sering di-tweet-kan.

Yang heboh, ketika pemilik Twitter @poconggg menggelar uji nyali bagi para follower-nya dengan tes keberanian membuka payung di mal Cilandak Town Square. Ia memberi iming-imngin kepada pemenangnya untuk menorehkan namanya dalam buku si empunya akun, ”Poconggg Juga Pocong”.
Kemisteriusan tweep dengan 700-an ribu follower yang aktif menceritakan aktivitas keseharian dan cerita horor Indonesia ini memang tersembunyi. Dan jangan sesekali usil dengan pocong yang satu ini, kalau tidak ingin mendapat jurus umpatan khas ”ketek badak” atau ”ingus koala”. Noni Arnee

18092011


http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/18/159580/Pisau-Twitter-di-Tangan-Artis

Artis-artis yang ’’Menjual Diri’’


Meski belum mendaftarkan perceraian secara resmi di Pengadilan Agama, Titi DJ dan Noviar Rachmansyah (Ovy) mengumumkan perpisahan mereka sebagai suami-istri.
Tentu saja hal itu membuat penasaran banyak kalangan, terutama pekerja infotainment. Tapi keduanya sepakat, tak mengumbar persoalan perpisahan mereka ke publik lewat sembarang media massa. Mereka hanya mau mengungkapkannya lewat official media coordinator yang mereka pilih. Dan itu situs kapanlagi.com.

Ya, situs tersebut diberi hak eksklusif soal perpisahan mereka dengan alasan ’’kepercayaan dan pertemanan’’. Setidaknya itu yang tertulis pada status akun Twitter Titi.
Tentu saja, mereka punya hak untuk itu. Tapi pengumuman perceraian yang kurang biasa di negeri kita, khususnya di kalangan selebiritis, membuahkan spekulasi bahwa Titi dan Ovy sengaja mengomersialisasikan perceraiannya. Isu pun menguat dengan embusan angin tak sedap menerpa pelantun ’’Bahasa Kalbu’’ itu. ’’Bayangkan, hak eksklusif berita seputar perceraian mereka itu hanya seharga di bawah Rp 10 juta,’’ ungkap sebuah sumber.

Meski tak terdengar heboh, ini bukan kali pertama artis Indonesia menjual hak ekslusifnya. Mike Lewis dan Tamara Bleszynski tahun lalu menjual foto-foto eksklusif pernikahan diam-diam mereka di Villa Bayuh Sabbha, Uluwatu, Jimbaran, Bali . Pembelinya juga situs kapanlagi.com dengan nilai sepuluh kali lipat lebih. Hanya saja, uang itu tak masuk ke kantung pemeran dalam film Air Terjun Pengantin. Uang hasil penjualan hak siar itu disumbangkan ke Yayasan Maria Monique Lastwish untuk kepentingan kemanusiaan. 
Begitu pula foto-foto saat Wulan Guritno melahirkan London Abigail Dimitri dari rahimnya tahun lalu. Hak eksklusif penyiarannya ditukar dengan uang Rp 100 juta pada situs yang sama. ’’Semoga bisa menjadi contoh buat (artis) yang lain,’’ begitu ungkapnya.

***

TENTU saja ada harga yang harus ditebus demi sebuah eksklusivitas. Jika di Indonesia hanya bernilai seratusan juta, lain halnya dengan pesohor mancanegara yang menjual hak siar eksklusifnya senilai miliaran rupiah. Mungkin saja nilai ini dianggap sebanding dengan harga foto-foto hasil ’’curian’’ yang dijual paparazzi hingga mereka memasang harga selangit. Atau bisa saja angka itu dianggap sepadan dengan artis yang bersangkutan.

Bisnis jual beli hak eksklusif di luar negeri memang bukan hal baru. Media besar sering dan sengaja mencari gambar eksklusif dari selebritis papan atas yang sering diburu penggemarnya. Mereka rela membayar mahal.

Majalah Hello!, misalnya, berani membayar foto Knox dan Vivienne, bayi kembar pasangan Angelina Jolie dan Brad Pitt hingga Rp 121 miliar lebih untuk hak publikasi 19 lembar foto Jolie bersama mereka.  Nilai ini jelas bikin Brangelina ketagihan dan mematok harga Rp 34 miliar lebih untuk foto anak kandung pertamanya, Shiloh Nouvel. Media Getty Images bukannya rugi, melainkan meraup untung besar. Media berlomba-lomba menjadi yang pertama untuk memperlihatkan wajah bayi para selebritis Hollywood. Jadi wajar saja jika mereka memasang tarif mahal, daripada terus-terusan menjadi incaran paparazzi.

J-Lo dan Marc Anthony ketularan ’’menjual’’ bayi kembarnya ke media dengan menyerahkan hak eksklusif foto Max dan Emme kepada majalah People.  Harganya Rp 51 miliar untuk 12 halaman foto kedua bayi yang dijepret di kawasan Long Island, Amerika Serikat itu. Untuk cover, People juga menawar foto-foto bayi kembar penyanyi Celine Dion dengan Rene Angelil  seharga 150 ribu dolar AS.

Mariah Carey pun tak mau ketinggalan. Foto anak kembarnya Moroccan dan Monroe Scott dihargai 200 ribu dolar AS atau sekitar Rp1,9 miliar per foto. ’’Mariah dan Nick memilih untuk melakukan yang benar daripada pergi ke penawar tertinggi,’’ kata sumber seperti dikutip kolom gosip New York Post. Tak kalah heboh, daya pikat ’’keanehan’’ atas kehamilannya Thomas Beatie, pria transgender yang melahirkan bayi perempuan laku 500 ribu poundsterling atau sekitar Rp 9,1miliar.

***

ITU sungguh angka-angka yang fantastis. Tidak hanya foto bayi mungil yang laris manis, potret pernikahan pun dihargai tinggi. Pasangan terpanas Hollywood Demi Moore dan Ashton Kutcher meraup hampir Rp 26 miliar untuk penjualan foto hitam-putih pernikahan kepada majalah OK!. Tapi mereka sungguh berbaik hati dengan menyumbangkan uang hasil penjualan foto kepada korban bencana Katrina and Rita. Untuk korban korban gempa yang menewaskan puluhan ribu orang di Haiti, Scarlett Johansson rela ’’menjual diri’’ lewat eBay kepada pria yang bersedia berkencan dengan tawaran awal 510 dolar AS. Majalah itu pun rela mengeluarkan kocek tebal hingga Rp 17 miliar untuk menebus foto pernikahan selebritis Eva Longoria dan pebasket Tony Parker di Paris.

Banyak celah bagi selebritis untuk mempertebal kocek mereka, apalagi saat saku menipis. Lihat saja, Lindsay Lohan yang gemar menjual foto untuk menutupi kebutuhan. Foto saat menjalani rehabilitasi di   Betty Ford Center dihargai tinggi oleh Majalah OK!. Penghasilan hingga 40 ribu dolar AS atau sekitar 350 juta seminggu dengan mudah didapat. Bahkan para paparazzi berani membeli dengan harga Rp 900 juta.

Tentunya memupuk uang dengan cara menjual hak pribadi tidak berlaku bagi semua pesohor yang hidupnya tak jauh dari sensasi dan kontroversi. Demi menjaga privasi, Witherspoon dan Jim Toth tetap kekeuh menolak tawaran 1 juta dolar AS untuk hak memublikasikan foto pernikahan mereka. Baginya, ruang pribadi menjadi nomor satu dibandingkan materi. Setidaknya itu juga menjadi prinsip Meryl Streep yang terang-terangan mengecam pasangan Hollywood yang tega menjual foto bayi mereka  demi uang.

’’Dengan alasan apa pun tak seharusnya orang tua menjual foto anak mereka kepada media. Anak-anak itu sebenarnya telah kehilangan hak privasi. Tak pantas ditiru,’’ ucapnya seperti dikutip contactmusic.com.

Jual beli eksklusivitas bukanlah monopoli selebritis. Lihat saja bagaimana kota London menghargai foto eksklusif kantor pusat BBC London yang sudah 50 tahun menjadi ikon kota tersebut. Angkanya  tidak main-main. Bahkan BBC ’’memaksimalkan nilai’’ hingga 300 juta poundsterling untuk pembayaran biaya lisens.

Ya, uang memang bukan segalanya. Tapi di dunia hiburan segalanya bisa jadi uang. Sejumlah selebritis tentunya melakukan langkah itu dengan berbagai alasan. Tapi alangkah mulianya jika imbalan yang berujung kertas berharga itu tidak mengorbankan segalanya. Noni Arnee

 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/14/156076/Artis-artis-yang-Menjual-Diri

Janji Jupe Bulan Ini


Tubuh meliuk-liuk berbalut pakaian seksi plus kerlingan mata genit khas Julia Perez tak akan lagi ditemui di layar kaca. Setidaknya, untuk bulan ini.

Ia menolak tampil seksi karena sudah berjanji untuk mengganti penampilan keseharian dan perilakunya. Yap, Jupe tampil lebih religius di bulan Ramadan.
‘’Aku mencoba memberikan yang terbaik diban­dingkan bulan-bulan biasanya karena ada nilai plus. Ini tiket menuju surga. Sebenarnya, mempertebal iman kan harus setiap hari, tetapi pas bulan suci ini lebih dipertebal,’’ jelas Jupe serius.

Ia juga tak memikirkan order saat Ramadan karena ingin mengais pahala. ‘’Mudah-mudahan puasa ini saya dapat pahala yang besar dan dibukakan pintu surga,’’ imbuhnya pada sebuah infotainment.

Tidak hanya Jupe, sederet aktris ibukota yang sering berpenampilan lebay dengan menonjolkan keseksiannya juga mengumbar janji untuk tampil lebih manis di bulan Ra­madan. Meski mengaku sulit un­tuk memakai pakaian tertutup karena kebiasaannya menggunakan pa­kaian yang minim dan seksi, Five Vi Rahmawati tak akan mengobral bodi seksinya dengan busana yang memperlihatkan auratnya. ‘’Pokok­nya agak ketutup dan nggak menonjolkan bagian-bagian tubuh. Nggak ada belahan dada, baju juga nggak ketat dan stop main-main ke bar dulu deh,’’ ujar Five Vi yang mengaku berpenampilan seksi karena mengikuti tuntutan peran dalam sinetron.

Atau penyanyi Mulan Jameela dan Pinkan Mambo yang menjadikan Ramadan sebagai bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala. ‘’Tidak etis dan pantas kalau terbuka pakaiannya, harus disesuaikan,’’ kata Mulan.

Tak mau kalah, Ardina Rasti, aktris pendatang baru yang hobi mengenakan busana ketat dengan padanan celana supermini juga berubah drastis. ‘’Memang tak ingin buka-bukaan seperti biasanya. Kurang pas aja.’’
Tapi kalau diingat, bukan kali pertama Jupe berjanji tampil lebih tertutup dan sopan. Ramadan tahun-tahun sebelumnya juga melakukan hal yang sama. Tidak hanya memborong busana muslim keperluan selama sebulan untuk mengganti koleksi baju seksinya yang menempel di tubuh dan mengurangi goyangan syur khasnya di atas panggung. Artis yang pernah mengenyam ilmu agama di pondok pesantren ini meng­ubah aktivitasnya di malam hari. ‘’Ya, namanya juga menyesuaikan diri dengan bulan Puasa ini. Stop dugem dengan mengaji, juga puasa pacaran,’’ ujarnya waktu itu.

***
TENTU saja masih banyak aktris lain yang berkomitmen dengan penampilan yang mendadak alim, berbusana sopan, tertutup dengan rambut berbalut kerudung. Begitu­lah penampilan sederet selebritis di bulan ramadhan yang mulai berbenah penampilannya. Belum lagi yang beralasan mengurangi jadwal manggungnya agar lebih khusyuk, karena panggung hiburan sedang mengalami masa paceklik.

Memang penampilan membuat seorang aktris terlihat berbeda. Terlebih jika dalam kesehariannya, dia biasa tampil seksi dan sedikit berani. Berubah menjadi terlihat kalem bahkan yang boleh dikatakan tidak islamis sekalipun. Ini memang salah satu fenomena yang muncul saat bulan Ramadan tiba. Tentu saja itu sebuah fenomena positif.

Setidaknya dengan tidak membiarkan mata publik dimanja dengan sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang mengarah pada perilaku dan khayalan negatif. Dari penampilan yang penuh semangat pembangkit syahwat dan dengan sengaja mengumbar aurat, seketika berlomba bergaya santun. Penampilan dengan model baju muslim terbaru aneka corak dan warna lebih mendominasi dibanding pakaian yang acapkali ‘’tak lengkap’’.

Dunia hiburan bisa dibilang dunia sandiwara. Semangat untuk berubah lebih baik meskipun hanya sesaat patut direspons dengan baik, meski ada juga yang memilih tidak berpindah haluan dengan alasan profesional. Seperti bintang film Jenny Cortez yang berani melakukan syuting adegan seks di saat bulan Ramadan tapi tetap berpuasa. Adegan itu untuk film Pengakuan Seorang Pelacur tahun lalu. Adegan apa pun, bagi  Jenny dianggap konsekuensi sebagai artis. ‘’Puasa itu kan hanya kita sama Tuhan yang tahu. Adegan yang saya jalani adalah tuntutan profesional. Jadi, lebih pada niat berpuasa saya. Kalau saya batalin, ya sayang banget.’’
Atau, Andy Soraya yang sering berpenampilan ‘’hot’’. Ia tak mau ikut-ikutan tren artis di bulan Rama­dan dengan mengubah penampilan.

‘’Berkerudunglah dalam hati kamu daripada men­cela orang. Maksudnya menurup aurat tapi hatinya di­pe­nuhi persangkaan buruk, ya percuma,’’ ujar wanita dengan dua anak ini beralasan. Dan pemain film Hantu Puncak Datang Bulan itu pun tetap cuek berpakaian sek­si dan enggan menutup auratnya secara musiman saja. 
Bagaimana setelah Ramadan? Andy menganggap penampilan sopan hanya basa-basi selain sebelas bulan di luar Ramadan. Tapi bisa jadi itu jalan menuju pribadi lebih baik. Terbukti aktris Marshanda yang mantap menggunakan busana muslim setelah melewati Ramadan tahun lalu.

Memang, kini makin marak aktris di bulan Ra­madan entah karena kesadarannya yang tulus atau sekedar ikut-ikutan. Setidaknya hal itu masih jauh lebih baik ketimbang mereka mengenakan pakaian ‘’sete­ngah jadi’’ seperti kebanyakan yang lain.  Pelaku panggung hiburan selalu punya cara menaikkan pamor agar tetap laris, bukan? 


Mereka Tetap Bersinar
 
Meski era 1980 dan 1990-an publik mengenal artis yang sering kali tampil seksi dan mendapat label artis bom seks seperti Suzzana, Yurike Prastika, Sally Marcelina, atau Sophia Latjuba. Namun fenomena yang luar biasa terjadi pada aktris bom seks pada periode 1990-an, Inneke Koesherawati karena keputusannya mengubah total penampilan dan citra yang sebelumnya dia sandang. Setelah melalui proses panjang, tahun 2001 aktris yang mengawali karier sebagai gadis sampul itu  memutuskan meninggalkan masa lalunya dan mengenakan jilbab.

Yang menarik, keyakinan untuk mengubah total penampilannya tak membuat Inneke sepi order. Karier keartisan di dunia film dan sinetron terus berlanjut. Sosok anggunnya dalam berjilbab tetap muncul pada banyak sinetron. Sejak 1991 hingga 2010 tercatat 14 film dan 17 sinetron dia perankan. Dia jadi ikon fesyen muslimah dan bintang iklan yang menjadi artis pertama model iklan shampo tanpa melepas jilbab. 

Tak hanya Inneke, para aktris yang berjilbab lainnya sudah membuktikan bahwa perubahan penampilan tak meredupkan namanya. Di jajaran model senior papan atas, sebut saja Okky Asokawati yang memutuskan untuk berjilbab selepas kepergian suaminya. Karier pemilik sekolah modeling berlabel QQ modeling yang sukses melahirkan peragawati profesional bertaraf internasional itu juga tak terhenti. Didaulat sebagai redaktur pelaksana di majalah Sarinah, pemandu acara dan kini aktif menjadi penulis buku. Ratih Sanggarwati yang memutuskan berjilbab sebelas tahun silam juga serupa.  Atau, Henidar Amroe yang karirnya meroket sebagai model, pemain film, dan sinetron. Nama lain yang bisa disebut adalah Meidiana Hutomo, penyiar dan presenter berita televisi sejak tahun 1982  pun tetap mendapat tawaran memainkan salah satu peran di sinetron kejar tayang hingga enam season.

Jangan lupakan Annisa Trihapsari, yang mantab berjilbab setelah menikah dengan Sultan Djorgi, suami ketiganya. Begitu juga, artis-artis kawakan yang konsisten mengubah penampilan menjadi lebih islami dengan menggunakan jilbab seperti Astrie Ivo, Rina Gunawan, Elma Theana, Nia Paramitha, Evie Tamala, Cheche Kirani, Devy Permatasari, dan masih banyak lagi.

Tidak hanya mereka, sejumlah aktris pendatang baru pun punya alasan berani mengambil keputusan besar karena mendapat hidayah untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Kira-kira hal itulah yang menjadi alasan Eddies Adelia, Zaskia Adya Mecca, dan Mar­shanda untuk menutup au­rat dengan mengenakan jilbab.

Memutuskan berubah pe­nam­pilan dengan membalut tubuh semakin islami, tentunya bukan langkah mudah. Banyak pertimbangan dan alasan  Apalagi sebagai artis, yang masih membutuhkan eksistensi dan karier. Tentu saja, dulu berbeda dengan sekarang. Dan hidup seseorang tak bisa diramal. Meski tak dimungkiri, popularitas dari mereka juga ada yang memudar dan tersisih pendatang baru yang sekali lagi bisa tampil lebih ‘’seksi’’. Tapi setidaknya mereka sudah membuktikan bisa tetap bersinar dengan perubahan penampilan. Noni Arnee
 


http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/07/155281/Mereka-Tetap-Bersinar

Kita Pernah Sukses


Kalau yang dipakai kriteria kesuksesan film sekuel itu kelarisan atau pola cerita yang cliffhanger ending, mungkin tak banyak film kita yang mendulangnya. Salah satu contoh saja, Laskar Pelangi. Sebagai novel dan film, karya itu begitu populer dan sangat diminati. Tapi begitu dibuat sekuelnya, Sang Pemimpi, judul sama dengan judul novelnya, film itu tak seheboh yang pertama. Padahal kalau lihat orang-orang di balik pembuatannya seperti Riri Reza (sutradara) dan Mira Lesmana (produser), kita bakal mengakui kualitas sekaligus gambaran kelarisan sebuah film.

Agaknya memang tak mudah membuat film sekuel Indonesia dengan tingkat ke-box-office-an sebagus film sebelumnya. Kepenasaranan penonton tetap ada, tetapi perwujudannya tak seperti ketika para penonton ngebet menonton sekuel film-film dari Hollywood. Lihat saja, ketidakhadiran film Harry Potter dan Transformers terbaru di bioskop-bioskop kita lantaran pengenaan pajak film impor itu memicu protes di mana-mana. Bahkan, tak sedikit orang kita yang menonton di Singapura atau Malaysia. Benar, ada rencana kedua film itu bakal bisa ditonton di sini. Tapi kalau jadi, mungkin sudah banyak orang yang menonton dari DVD atau di situs-situs penyedia film.

Tapi kita tak boleh melupakan film-film lama yang berkarakter film sekuel seperti milik DKI (Dono, Kasino, Indro), Kwartet Jaya (Ateng, Iskak, Eddy Sud, dan Bing Slamet), Benyamin S, atau Rhoma Irama. Boleh dibilang, semua film mereka pada zamannya diminati penonton. Tak hanya saat diputar di bioskop, film-film mereka juga jadi langganan layar tancap. Memang tak ada catatan ke-box-office-an pada film-film mereka. Tapi dengan logika sederhana, kita bisa mengatakan bahwa sekuel film-film mereka tak mungkin diproduksi kalau film sebelumnya hanya mendatangkan kerugian.

Yang menarik, film-film mereka lebih mendekati pola film-film James Bond, yaitu sama-sama mengandalkan sosok dalam film, dan dengan cerita yang utuh. Ini tentu berbeda dengan film-film sekuel macam Harry Potter, Lord of the Rings, atau Laskar Pelangi. Jadi, sekuel dibuat dengan mengandalkan para pemain atau karakter yang diceritakan. Bedanya, James Bond itu tokoh fiktif yang dimainkan seorang aktor sementara keunikan film-film kita di atas itu terletak pada para pemain yang memainkan diri mereka sendiri. Kalau toh ada perkecualian, itu saat Eddy Sud berperan sebagai Ali Baba dalam film Kwartet Jaya berjudul Ali Baba dan 40 Penyamun.

Barangkali faktor kelarisan film-film Dono dan kawan-kawan bukan pada kisah atau kualitas filmnya melainkan sosok pemainnya. Mereka telah populer bukan sebagai pemain film, dan popularitas seorang selebritis memang bisa dimanfaatkan untuk menarik minat penggemarnya. Dan itu tampaknya berlaku hingga sekarang.

Bisakah kesuksesan serupa itu terulang? Entahlah. Tapi, film sehebat Nagabonar (saat diaktori Dedy Mizwar) pun ternyata tak banyak bersuara ketika sang aktor menyutradari sekuelnya Nagabonar Jadi 2, mirip Sylvester Stallone saat menyutradarai Rambo. Noni Arnee

17082011

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/07/17/152797/Kita-Pernah-Sukses

Meraup Dolar dari Rasa Penasaran


Selama tiga pekan sejak dirilis 1 Juli lalu, film Transformers: Dark of the Moon merajai box office dunia. Di Amerika Serikat dan Kanada, pada pekan pertama pemutaran, film itu meraup pemasukan sebesar 97,4 juta dolar AS. 

Menurut Paramount Pictures yang mendistribusikan film tersebut, angka itu fantastis dan mematahkan rekor Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides yang rilis perdana Mei lalu. Film produksi Disney itu hanya mendapat pemasukan 90,2 juta dolar AS.

Sebenarnya, angka 97,4 juta dolar itu hanya hitungan untuk tiga hari pemutaran. Tapi jumlah itu pun mematahkan rekor The Spider-Man 2 (2004) yang dalam tiga hari meraup pemasukan 88,2 juta dolar. Keberadaan sekuel ketiga Transformers di puncak box office itu juga menggusur keperkasaan film sekuel lain, yaitu Car 2 produksi Walt Disney Studios Motion Pictures.

Catatan ke-box-office-an hampir selalu dirujuk dari pendapatan sebuah film. Sederhananya, film box office adalah film laris manis. Coba Anda cermati film-film di atas yang tercatat sebagai contoh raja-raja box office itu. Semuanya film sekuel. 

Jadi, semua film sekuel laris? Tidak semuanya, tapi ada kecenderungan seperti itu. Apalagi tidak pas pula menyimpulkan bahwa yang laris di pasaran itu film sekuel. Banyak film bukan sekuel yang laris. Sebab, sebenarnya salah satu alasan sebuah film dibuat sekuelnya adalah karena kesuksesannya mendulang pasar. Bahkan kalau tak laku pun, jenis film remake-nya punya keniscayaan mendulang sukses.

Kita lihat James Bond, film sekuel legendaris yang selalu laris ketika dirilis. Film pertamanya Dr No (1962) dengan aktor Sean Connery tidak dibikin dengan rencana membuat film kedua dan seterusnya. Lalu film itu sukses dan sekuel ke-23 sudah bakal menyambangi kita (kalau jadi dirilis November 2012). Film lain macam Star Wars, sosok-sosok superhero, jagoan komik, atau kartun ala Disney pun punya pola serupa. Bahkan saat para aktor pemainnya berganti-ganti seperti James Bond dan film sekuel tokoh superhero, nasib filmnya hampir tak berubah: selalu laris.

Coba saja kita tilik catatan data film box office hingga tujuh bulan di tahun ini. Seperti sudah disebut, ada Transformers: Dark of the Moon. Dua bulan sebelumnya sosok Jack Sparrow masih mengharu-biru penonton film dalam sekuel keempat Pirates of the Caribbean. Yang diprediksi sangat mungkin menduduki puncak box office berikutnya adalah Harry Potter and The Deathly Hallows Part 2 yang rilis setelah Transformers #3.

Kecenderungan Serupa

Tahun lalu, dominasi film box office pun memperlihatkan hal serupa. Dari 10 film terlaris, ada film yang merupakan sekuel dari film sebelumnya. Yakni, Toy Story 3, Iron Man 2, The Twilight Saga: Eclipse, Harry Potter and The Deathly Hallows Part 1, dan Shrek: Forever After. Kalau film remake seperti Alice in Wonderland dan The Karate Kid bisa dianggap sebagai ”film lama rasa baru” seperti film sekuel, jumlahnya menjadi 7 film. Dan dalam daftar itu pun ada film How To Train Your Dragon yang sudah direncanakan sekuelnya.

Secara sederhana, kita bisa menyimpulkan bahwa tujuan utama pembuatan film sekuel dari film yang sukses adalah semata meraup keuntungan. Selagi masih bisa dijadikan sumber pengucuran pundi-pundi, umumnya film sekuel yang selalu laris bakal terus diproduksi. Film Harry Potter misalnya mungkin tak termasuk dalam film sekuel yang tak terbatas produksinya. Sebab, film itu diadaptasi dari novel laris yang sudah dihentikan pada buku ketujuh. Tapi adanya part 1 dan part 2 dalam film terakhir sosok penyihir remaja itu menjadi bukti produsernya tak ingin berhenti. 

Di luar itu, kita perlu juga mempertimbangkan soal investasi untuk sebuah film yang lalu disekuelkan. Produser film-film sekuel tentu saja mempertimbangkan segala macam properti, termasuk juga para pemain, yang sayang sekali kalau hanya dipakai sekali. Atas alasan memanfaatkan investasi yang telah ada pun kadang tak selalu berhasil. Seperti sudah disebut, sebuah film awal yang laku keras, sekuelnya bisa saja berantakan. Sebut beberapa misalnya Jaws (1975) garapan Steven Spielberg yang berantakan ketika dibuat Jaws: The Revenge (1987), atau film paling populer pada zamannya seperti First Blood (1982) yang lebih dikenal dengan Rambo) hanya sukses pada First Blood II (1985). Bahkan film garapan aktornya sendiri Sylvester Stallone dengan judul Rambo (2008) nyaris tak terdengar.

Itu dari sisi produser atau kalangan orang film. Bagaimana dari sisi penonton? Mengapa mereka suka menonton film sekuel? Paling sederhana jawabannya adalah kepenasaranan mereka terhadap ”kelanjutan” dari film yang sebelumnya sudah mereka tonton. Apalagi, bila film sebelumnya itu bagus dan punya banyak penonton (setidaknya yang tak sempat menonton merasa penasaran mengapa sebuah film ditonton begitu banyak orang). Kepenasaranan itu pula yang dengan cantik dimainkan para pembuat film sekuel Hollywood dengan menyuguhkan film berpola cliffhanger ending atau akhiran yang menggantung.

Ya, dari kepenasaranan itulah mereka meraup dolar. Meskipun tak semua film laris itu berkualitas bagus. Situs filmsite.org hanya mencontohkan beberapa film sekuel yang laris dan bagus seperti The Lord of the Rings, Shrek, dan The Godfather. Yang lainnya, bisa jadi hanyalah film-film yang pintar memainkan kepenasaranan penonton. Noni Arnee


17082011

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/07/17/152796/Meraup-Dolar-dari-Rasa-Penasaran