Sabtu, 07 April 2012

Kita Pernah Sukses


Kalau yang dipakai kriteria kesuksesan film sekuel itu kelarisan atau pola cerita yang cliffhanger ending, mungkin tak banyak film kita yang mendulangnya. Salah satu contoh saja, Laskar Pelangi. Sebagai novel dan film, karya itu begitu populer dan sangat diminati. Tapi begitu dibuat sekuelnya, Sang Pemimpi, judul sama dengan judul novelnya, film itu tak seheboh yang pertama. Padahal kalau lihat orang-orang di balik pembuatannya seperti Riri Reza (sutradara) dan Mira Lesmana (produser), kita bakal mengakui kualitas sekaligus gambaran kelarisan sebuah film.

Agaknya memang tak mudah membuat film sekuel Indonesia dengan tingkat ke-box-office-an sebagus film sebelumnya. Kepenasaranan penonton tetap ada, tetapi perwujudannya tak seperti ketika para penonton ngebet menonton sekuel film-film dari Hollywood. Lihat saja, ketidakhadiran film Harry Potter dan Transformers terbaru di bioskop-bioskop kita lantaran pengenaan pajak film impor itu memicu protes di mana-mana. Bahkan, tak sedikit orang kita yang menonton di Singapura atau Malaysia. Benar, ada rencana kedua film itu bakal bisa ditonton di sini. Tapi kalau jadi, mungkin sudah banyak orang yang menonton dari DVD atau di situs-situs penyedia film.

Tapi kita tak boleh melupakan film-film lama yang berkarakter film sekuel seperti milik DKI (Dono, Kasino, Indro), Kwartet Jaya (Ateng, Iskak, Eddy Sud, dan Bing Slamet), Benyamin S, atau Rhoma Irama. Boleh dibilang, semua film mereka pada zamannya diminati penonton. Tak hanya saat diputar di bioskop, film-film mereka juga jadi langganan layar tancap. Memang tak ada catatan ke-box-office-an pada film-film mereka. Tapi dengan logika sederhana, kita bisa mengatakan bahwa sekuel film-film mereka tak mungkin diproduksi kalau film sebelumnya hanya mendatangkan kerugian.

Yang menarik, film-film mereka lebih mendekati pola film-film James Bond, yaitu sama-sama mengandalkan sosok dalam film, dan dengan cerita yang utuh. Ini tentu berbeda dengan film-film sekuel macam Harry Potter, Lord of the Rings, atau Laskar Pelangi. Jadi, sekuel dibuat dengan mengandalkan para pemain atau karakter yang diceritakan. Bedanya, James Bond itu tokoh fiktif yang dimainkan seorang aktor sementara keunikan film-film kita di atas itu terletak pada para pemain yang memainkan diri mereka sendiri. Kalau toh ada perkecualian, itu saat Eddy Sud berperan sebagai Ali Baba dalam film Kwartet Jaya berjudul Ali Baba dan 40 Penyamun.

Barangkali faktor kelarisan film-film Dono dan kawan-kawan bukan pada kisah atau kualitas filmnya melainkan sosok pemainnya. Mereka telah populer bukan sebagai pemain film, dan popularitas seorang selebritis memang bisa dimanfaatkan untuk menarik minat penggemarnya. Dan itu tampaknya berlaku hingga sekarang.

Bisakah kesuksesan serupa itu terulang? Entahlah. Tapi, film sehebat Nagabonar (saat diaktori Dedy Mizwar) pun ternyata tak banyak bersuara ketika sang aktor menyutradari sekuelnya Nagabonar Jadi 2, mirip Sylvester Stallone saat menyutradarai Rambo. Noni Arnee

17082011

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/07/17/152797/Kita-Pernah-Sukses

Tidak ada komentar:

Posting Komentar